Selasa, 15 April 2008

Kodifikasi UU No. 39 Tahun 1999

PROSES LEGISLASI UU NOMOR 39 TAHUN 1999
TENTANG HAK AZASI MANUSIA (HAM)

Deni K.Yusup

Pendahuluan
Hak Azasi Manusia (HAM) merupakan suatu hal yang fundamental, sensitif dan kontroversial. Selama beberapa dekade, isu-isu hak azasi manusia telah menjadi perdebatan menarik di kalangan pemikir modern baik di bidang politik maupun hukum. Hal ini berdasar kepada kecenderungan munculnya isu-isu hak azasi manusia bukan hanya dipengaruhi oleh anasir-anasir politik dan hukum melainkan juga agama dan budaya. Terbentuknya konsensus internasional tentang Universal Declaration of Human Rights pada 10 Desember 1948 hanya dimotori oleh sekelompok negara pemenang perang setelah berakhirnya Perang Dunia II yaitu AS, Perancis dan Inggris. Hal ini memperkuat pandangan bahwa isu-isu hak azasi manusia tidak saja terkait dengan persoalan krusial menyangkut aspek-aspek dan standar universalitas hak-hak azasi manusia, tetapi juga terkait dengan latar belakang pembentukannya untuk menciptakan perdamaian dunia.
Di kalangan negara-negara muslim termasuk Indonesia, persoalan hak-hak azasi manusia bukanlah suatu hal baru. Syari’at Islam yang bersifat universal banyak menjelaskan prinsip-prinsip dasar tentang persamaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan. Bahkan ketika Nabi Muhammad Saw mendeklarasikan Piagam Madinah, hak-hak azasi manusia ditempatkan dalam posisi tertinggi konstitusi Islam pertama tersebut. Ironisnya negara-negara Barat seringkali mencap negara-negara Muslim sebagai sebagai negara-negara yang dianggap banyak melanggar HAM. Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana proses kodifikasi UU No. 39 Tahun 1999.

Gagasan Legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Terungkapnya tindak pelanggaran HAM yang banyak terjadi di masa lalu, khususnya pada masa rezim Orde Baru yang runtuh melalui gerakan reformasi mahasiswa pada bulan Mei 1998, telah mendorong seluruh komponen bangsa sadar akan pentingnya melindungi hak-hak dasar setiap individu. Hak-hak dasar itu, yang kemudian dikenal dengan Hak Azasi Manusia (HAM), dipandang perlu dituangkan dalam konstitusi Indonesia.
Presiden B.J. Habibie (penerus Soeharto) berhasil memancangkan pilar-pilar reformasi di bidang hukum, salah satunya adalah mengamandemen UUD 1945 yang di dalamnya dimasukan pasal yang memuat tentang HAM. Implikasinya, tentu saja perlu diikuti dengan peraturan turunan dalam bentuk UU yang khusus mengatur masalah HAM yakni UU Hak Azasi Manusia (HAM).
Dalam perkembangannya, pemerintah bersama-sama dengan DPR berhasil menetapkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Berdasarkan UU ini, negara mendapatkan amanat untuk melindungi hak-hak seluruh warga negara, yang salah satunya mendirikan institusi Komisi Nasional Hak Azasi manusia (Komnas HAM).
Penegakan HAM yang masih belum maksimal, sekurang-kurangnya secara formal telah mendapat pengakuan dan upaya penegakannya setelah dikeluarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. UU ini juga menjadi jalan bagi penegakan HAM yang lebih fokus, terencana dan sistematis pada tataran konstitusional, sosial dan budaya serta diaplikasikan secara formal dan informal. Paling tidak, kehadiran UU ini memberi harapan besar bagi Indonesia sebagai negara yang sangat menjujung tinggi HAM.

Dasar Legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Dalam tulisan ini, penulis ingin memberikan sedikit ilustrasi tentang proses legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Proses legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dilakukan melalui pendekatan berikut:

1. Historis
Dalam perspektif historis, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM lahir dari suatu kenyataan dan tantangan reformasi hukum di Indonesia. Tuntutan reformasi hukum menggariskan kepada negara untuk menjamin hak-hak dasar setiap warga negara dalam memperoleh persamaan perlakuan di depan hukum dan keadilan. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM ini lahir dari sikap positif Pemerintah RI atas resolusi Komisi Tinggi HAM PBB bahwa setiap negara anggota PBB berkewajiban melindungi hak-hak dasar warga negaranya tanpa membeda-bedakan suku, bangsa, agama, bahasa, dan status sosial lainnya.
Hukum HAM lahir pada tanggal 10 Desember 1948 melalui sebuah konsensus internasional pada Sidang Majelis Umum PBB (Universal Declaration of Human Rights). Hukum HAM tersebut merupakan hukum perdata internasional dengan subyek hukum negara. Dalam perkembangannya UDHR diiukuti hukum internasional turunan lainnya, antara lain International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR), sebagai pedoman hukum internasional yang berkaitan dengan HAM.
Selain itu, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM lahir dari suatu kenyataan bahwa banyak kasus tindak pelanggaran HAM yang tidak diungkap dan tidak pernah dipertanggungjawabkan kepada publik, seperti kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Penculikan Aktifis, Tanjung Priok, kasus Lampung, kasus Ambon, Kasus Poso, Kasus Sampit, Kasus Sambas, kasus Kedung Ombo Banyuwangi, Kasus Waduk Nipah dan sebagainya. Untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut secara hukum, maka diper-lukan suatu perangkat hukum yakni UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

2. Filosofis
Pandangan filosofis atas UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pertama, secara ontologis setiap individu adalah orang yang bebas, ia memili hak-hak dan kewajiban yang sama antara satu dengan yang lain dalam konteks sosial. Kedua, Secara efistimologis, jaminan persamaan atas setiap hak-hak dasar kemanusiaan berikut kewajiban-kewajiban yang melekat di dalamnya, mesti dibatasi oleh hukum (hukum HAM). Ketiga, tujuan dibuatnya hukum HAM adalah sebagai hukum materil yang mengatur proses penegakan HAM di masyarakat. Berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pemerintah berkewajiban menggaransi hak-hak dasar kemanusiaan warganya melalui sebuah lembaga independen yang disebut Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM).
Lebih jelasnya dapat dilihat dalam konsideran UU HAM ini bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

3. Sosiologis
Gagasan awal proses legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM ini telah menimbulkan pro kontra dan penafsiran yang beragam di masyarakat. Pertama, ada yang berpendapat bahwa secara substantif UU HAM mengadopsi Statuta Roma yang pijakan historis, filosofis dan sosiologisnya berbeda. Kedua, Lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dianggap sebagian pihak secara skeptis yakni sekedar untuk menaikan pamor Indonesia di dunia internasional bahwa negara ini sangat menjunjung tinggi HAM. Ketiga, pemerintah (dalam hal ini aparat penegak hukum) belum sepenuhnya komitmen untuk menegakan dan melindungi hak-hak warga negaranya. Keempat, para ahli dan praktisi hukum berpendapat bahwa pemenuhan dan jaminan HAM hanya dapat dilaksanakan apabila dilegislasikan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

4. Politik
Legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM diperlukan melalui sebuah mekanisme pengambilan keputusan yang proporsional yakni antara pemerintah dan masyarakat (diwakili DPR) bagi terjaminnya kepastian hukum dan keadilan. Kiris politik yang berlangsung sejak era Orde Lama dan Orde Baru tidak saja menyisakan sejarah panjang kasus-kasus pelanggaran HAM, seperti kasus G-30-S/PKI, Madiun, DI/TII, Malari 1974 dan sebagainya. Atas dasar itu, legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM merupakan suatu tuntutan realitas yang muncul dari dukungan realitas pula. Menurut UU ini, jaminan penegakan HAM tidak hanya menjadi sebuah tanggung jawab negara tetapi juga semua individu.
Pertimbangan politik dapat dilihat dalam konsideran UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM bahwa untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk UU HAM.

5. Yuridis
Ada beberapa pertimbangan yuridis yang melatarbelakangi lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, antara lain:
a. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
b. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74).
c. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327).
Dari pertimbangan-pertimbangan itulah Presiden dan DPR menyetujui pengesahan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pada gilirannya UU ini akan diikuti oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 1 tahun 1999 tentang peradilan HAM, yang selanjutnya akan diubah menjadi UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Proses Legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
Pada bagian ini, secara ringkas penulis menjelaskan proses legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian latar belakang, proses dilegislasikannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dilakukan dengan 4 (empat) tahap:

1. Tahap Pertama: Penyusunan Draft Awal
Pada tahap pertama proses legislasi, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM diawali melalui suatu proses penyusunan naskah awal yang berupa naskah akademik (academic draft). Istilah ini banyak dikenal dalam ilmu perundang-undangan (al-ilm taqnin al-ahkam). Tahapan ini mencakup:
a. Pemerintah, DPR, organisasi sosial dan kemasyarakatan (LSM) serta elemen-elemen terkait, mengangkat wacana-wacana penegakan HAM melalui sebuah ketentuan HAM. Wacana-wacana ini banyak dilakukan pada tingkat forum-forum ilmiah secara formal dan informal, seperti seminar, simposium, lokakarya, workshop, dan sebagainya. Bahkan sosialisasi untuk mengangkat wacana ini juga dilakukan melalui media cetak dan media elektronik.
b. Pemerintah, DPR, organisasi sosial dan kemasyarakatan (LSM) serta elemen-elemen terkait, masing-masing menyusun sebuah Draft Awal UU HAM. Draft Awal UU HAM ini selanjutnya dibahas kembali pada forum-forum ilmiah secara formal dan informal, sehingga dihasilkan masukan, saran dan rekomendasi bagi kelengkapan UU HAM.

2. Tahap Kedua: Penyempurnaan Draft RUU HAM
Pada tahap kedua, proses penyusunan Draft RUU HAM yang sudah dibahas dalam berbagai forum ilmiah itu, selanjutnya diajukan kepada Presiden untuk dikaji dan dilakukan penyempurnaan. Pada tahapan ini, pemerintah (dalam hal ini Presiden) melakukan sejumlah langkah-langkah teknis sebagai berikut:
a. Beberapa saran, masukan dan rekomendasi, hasil dari pertemuan-pertemuan ilmiah itulah kemudian menjadi masukan berharga bagi penyempurnaan Naskah Draft RUU HAM.
b. Pembentukan Tim Independen yang berfungsi membahas, mengkaji dan mene-laah seluruh point yang terdapat dalam Draft RUU HAM.
c. Draft RUU HAM itu selanjutnya diperbaiki dan disempurnakan menurut ukuran kepatutan hukum dan tata aturan penyusunan peraturan dan perundang-undangan di Indonesia.

3. Tahap Ketiga: Pengajuan Draft RUU HAM
Pada tahap ketiga, proses penyusunan Draft RUU HAM yang telah diper-baiki dan dilengkapi dengan sejumlah masukan, saran dan rekomendasi, selanjutnya diajukan kepada Presiden untuk dikaji dan dipertimbangkan lebih seksama. Pada tahapan ini, pemerintah (Presiden) melakukan langkah-langkah teknis berikut:
a. Presiden membentuk suatu Tim Ahli yang terdiri dari staf ahli kepresidenan, Departemen Hukum dan HAM, pakar ilmu hukum dan praktisi hukum, serta komponen masyarakat yang dianggap layak diikutsertakan dalam proses pemba-hasan Draft RUU HAM.
b. Pembahasan Draft RUU HAM pada tingkat Tim Ahli pemerintahan, yang selan-jutnya pemerintah melakukan Rapat Koordinasi dengan DPR untuk menindak-lanjuti pembentukan UU HAM pada tingkat yang lebih teknis dan rinci.
c. Setelah diperoleh kesepakatan antara pemerintah dan DPR, kemudian Presiden mengajukan Draft RUU HAM itu kepada DPR untuk dikaji lebih dalam sehingga dapat ditetapkan sebagai Undang-Undang.

4. Tahap Keempat: Pembahasan dan Pengesahan UU HAM
Tahapan keempat ini, pemerintah dan DPR sama-sama memiliki kewenangan dalam membahas dan mengesahkan UU. Pemerintah dan DPR melakukan pembahasan Draft RUU HAM dengan mempertimbangkan beberapa faktor, yakni:
a. Kepatutan menurut prinsip dan azas hukum, di mana UU HAM harus dilandasi norma-norma filosofis, sosiologis, politik, dan yuridis, serta tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi, sehingga dapat menjamin keadilan dan kepastian hukum;
b. Keterwakilan, maksudnya adalah mempertimbangkan masukan/rekomendasi dari semua komponen masyarakat dalam proses pengambilan keputusan;
c. Tujuan pembentukan UU HAM tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan tuntutan dan dukungan dari masyarakat, tetapi juga harus mampu menjamin kepastian hukum bagi penegakan hukum dan HAM.
Oleh karena itu, sebelum disahkan menjadi UU, DPR melakukan beberapa langkah teknis dan strategi, antara lain:
a. DPR melakukan rapat dengar pendapat (public hearing) dengan elemen sosial politik yang berkepentingan dengan proses pembentukan UU HAM. Beberapa pertemuan pernah digelar oleh DPR dengan para ahli hukum, praktisi hukum, aktifis HAM, dan beberapa LSM yang concern di bidang HAM.
b. DPR juga melakukan rapat dengar pendapat (public hearing) dengan pemerintah yang dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan HAM (Departemen Hukum dan HAM) dan Mahkamah Agung.
c. DPR membentuk suatu Panitia Kerja (Panja) atau Panitia Khusus (Pansus) melalui suatu Sidang Komisi yakni Sidang Komisi IV DPR RI.
d. DPR menggelar sidang paripurna untuk mendengarkan pandangan fraksi-fraksi. Pandangan fraksi-fraksi cenderung beragam ada menyetujui tanpa catatan dan ada pula yang menyetujui dengan catatan. Khususnya Fraksi TNI yang keberadaannya di DPR cukup disorot, mengingat pihak TNI diduga banyak terlibat dalam kasus-kasus tindak pelanggaran HAM semasa rezim Orde Baru.
e. Dalam sidang paripurna tersebut, hampir semua fraksi menyetujui disahkannya UU HAM.
f. Pimpinan DPR mengambil keputusan berdasarkan persetujuan fraksi-fraksi dan pandangan pemerintah (Presiden).
g. Langkah paling akhir adalah DPR mengesahkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan disahkan pula oleh pemerintah (K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik Indonesia).

Penutup
Demikianlah gambaran singkat tentang proses legislasi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Bagi penulis, pengesahan UU HAM oleh seluruh fraksi di DPR berarti mendukung semangat reformasi di bidang hukum. Setelah dilegislasikannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM ini berarti sekurang-kurangnya secara formal Indonesia sudah sebagai negara hukum telah memenuhi sebagian kewajibannya yakni memberi garansi HAM kepada semua individu (masyarakat, warga negara Indonesia, dan warga negara lainnya yang tinggal dalam wilayah hukum Indonesia).

5 komentar:

BNG forever mengatakan...

wah susah nyari judul-judulnya, nyecrolling blognya kepanjangan. kayaknya baek kalo dibikin read more biar pengunjung kaya ane bisa langsung liat judul2nya tanpa ngegulung blog. saran nih saran ni bang. jangan dmasukin ati. masukin blog aja.

Hitam-Putih mengatakan...

Halo Pak denny say mau tny mslh reformasi apakah Reformasi adalah ide kt sendiri(Bangsa ind) atau kah IMF..sedangan bung karno pernah berkata org yg akan menghacurkan Bangsa ini adlh kaum Reformis,belandis,dan kompromis...(BDR Jilid2)lalu mengenai Ham apakah suduh benar..uu No.39 thn 1999 bisa menyelesaikan permasalahan Ham...klo kt pandang secara Yuridis dlm sistem ketatanegaraan berdasakan UUD 1945 sebelum amandemen Dimn Kedaulatan Berada di tangan rakyat dan di jlnkan sepuhny oleh majelis permusyawaratan rakyat(MPR)Pasal 1 ayat 2 tetapi terjadi kerancuan dlm pasal 2 ayat 1 bahwa Majelis permusyawaratan rakyat terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat di tambah dengan utusan-utusan dari daerah dan golongan-golongan yang di atur didalam undang-undang...
pdhl MPR adalah Perwujudan sifat dari kedaulatan rakyat yg dicita2kan oleh para faunding father pd tngl 28 oktober 1828 Dgn peristiwa sumpah pemudah yang berartikan terangkatny harkat dan martabat hidup orang-orang indonesia asli(bangsa indonesia)
tetapi krn adany psl 2 ayat 1 di dlm UUD 1945 sesudah maupun sebelum maka sifat kedaulatan rakyat tersebut tidak terwujud krn dikotomi oleh lembaga negara yg berbeda fungsi yaitu DPR..
yg ingin saya tanykan bagaimn ham bs terrealisasikan jika lembaga untuk aspirasi rakyat tidak ada...
klo DPR dia tidak menegakkan kedualatan rakyat dan aspirasi rakyat dia hanya sebagai ngesahan UU quality control UU tersebut berjalan..
klo di negara barat kt memang knl dgn trias politika /pembagi kekuasaan eksekutif,legeslatif,yudikatif sedangkan di indonesia Bung Karno menyatakan Bahwa demokrasi kt berbeda dgn Demokrasi Barat..krn Negara yg berkumpul pada tanggal 20 desember 1948 dlm sejarahny Negara dl lahir lalu bangsa..sedang kan indonesia Bangsa dl lahir br negara..
(bangsa lahir 28 oktober1928 dan negara lahir 18 agustus 1945)maka hrsny ada lembaga bangsa sebagai pondasi keutuhan dan kemajuan negara...
sebagai org awan say sngt tdk mengerti mengapa para Prof,Doktor yg ktny ahli hukum tidak melihat hal sebesar itu...
sekian terima kasih...
kpn2 kt bs diskusi lg nmengenai hukum yah pak...
Rizal malaka

Hitam-Putih mengatakan...

ralat sejarah Declaration of Human Rights pada 10 Desember 1948 bkn 20 desember 1948

Hitam-Putih mengatakan...

ralat Declaration of Human Rights pada 10 Desember 1948 bkn 20 desember 1948

Hitam-Putih mengatakan...

ralat Declaration of Human Rights pada 10 Desember 1948 bukan 20 desember 1948