Selasa, 15 April 2008

Hukum Islam dan HAM

Deni K. Yusup

Hak Azasi Manusia (HAM) merupakan suatu hal yang fundamental, sensitif dan kontroversial. Selama beberapa dekade, isu-isu hak azasi manusia telah menjadi perdebatan menarik di kalangan pemikir modern baik di bidang politik maupun hukum. Hal ini berdasar kepada kecenderungan munculnya isu-isu hak azasi manusia bukan hanya dipengaruhi oleh anasir-anasir politik dan hukum melainkan juga agama dan budaya.

Terbentuknya konsensus internasional tentang Universal Declaration of Human Rights pada 10 Desember 1948 hanya dimotori oleh sekelompok negara pemenang perang setelah berakhirnya Perang Dunia II yaitu AS, Perancis dan Inggris. Hal ini memperkuat pandangan bahwa isu-isu hak azasi manusia tidak saja terkait dengan persoalan krusial menyangkut aspek-aspek dan standar universalitas hak azasi manusia, tetapi juga terkait dengan latar belakang pembentukannya untuk menciptakan perdamaian dunia.

Di kalangan negara-negara muslim, persoalan hak azasi manusia bukanlah suatu hal baru. Syari’at Islam yang bersifat universal banyak menjelaskan prinsip-prinsip dasar tentang persamaan hak azasi manusia dan kebebasan. Bahkan ketika Nabi Muhammad Saw mendeklarasikan Piagam Madinah, hak azasi manusia ditempatkan dalam posisi tertinggi konstitusi Islam pertama tersebut. Perjalanan sejarah berlakunya hukum Islam di kalangan masyarakat muslim telah bergeser dari sudut normativitas vertikal menjadi lebih horizontal. Hal ini disebabkan perkembangan berlakunya hukum Islam telah dipengaruhi pula oleh dinamika sosial-budaya dan politik hukum dalam masyarakat Islam itu sendiri.

Islam dan Hak Azasi Manusia

Bagi sebagian besar muslim, Islam difahami bukan semata-mata merupakan agama yang mengajarkan tentang kesadaran untuk tunduk kepada Tuhan yang diwujudkan dalam kegiatan ritual semata, akan tetapi mengajarkan pula pedoman hidup untuk saling menghormati dan menghargai antar sesama manusia. Islam merupakan agama wahyu karena di dalamnya syarat dengan muatan-muatan norma-norma hukum berdasar kepada kehendak Tuhan, agar manusia dapat menjunjung tinggi persamaan derajat kemanusiaannya.

Munculnya kesadaran eklusif dalam menjalankan ajaran Islam, tidak dapat disangkal telah memunculkan corak penerimaan Islam lebih dari sekedar sistem keyakinan terhadap Tuhan, tetapi juga merupakan suatu sistem hukum yang universal. Norma-norma ideal dalam ajaran Islam lebih banyak difahami sebagai kumpulan norma hukum yang sebagian atau seluruhnya berasal dari kehendak Tuhan, sedangkan manusia hanya menjadi komponen yang melaksanakan hukum Tuhan.

Sebaliknya corak kesadaran inklusif lebih menitikberatkan pemahaman bahwa agama merupakan pedoman dasar ketuhanan dan kemanusiaan. Agama tidak hanya mengarahkan manusia untuk tunduk dan patuh kepada Tuhan dalam bentuk kegiatan ritual yang bersifat vertikal, tetapi hendaknya berimplikasi kepada kesadaran akan kemanusiaannya, sehingga melahirkan sikap saling terbuka, saling menghargai, dan mengakui persamaan derajat kemanusiaan tanpa membeda-bedakan apapun.

Hubungan antara Islam dan hak azasi manusia, terletak pada universalitas ajaran Islam. Universalitas hak azasi manusia telah digaransi di dalam prinsip-prinsip dasar hukum Islam yang berasal dari teks-teks suci maupun konstruksi pemikiran ulama. Prinsip-prinsip dasar tersebut mencakup: ketuhanan, keadilan, persamaan, kebebasan, toleransi, dan sebagainya. Namun demikian, prinsip-prinsip dasar yang bersifat umum tersebut sangat terbuka dengan perbedaan pada tingkat implementasinya. Sebab hal ini sangat dipengaruhi oleh corak politik hukum dan situasi sosial-budaya dalam masyarakat Islam. Pada gilirannya muncullah corak keberlakuan hukum Islam yang bercorak lokal.

Perkembangan hukum Islam di negara-negara muslim yang berlangsung sejak periode kenabian hingga periode modern, diduga telah bersentuhan dengan sistem hukum lainnya. Di samping itu, pengaruh teori-teori hukum yang diperkenalkan oleh kalangan ahli hukum juga telah memberikan asumsi-asumsi dasar untuk menempatkan hukum Islam lebih dari sekedar bercorak lokal dan berdiri sendiri, tetapi juga telah dibentuk dari hasil rekonstruksi pemikiran manusia karena adanya faktor tuntutan dan dukungan bagi keberlakuannya. Namun ironisnya, hal itu diklaim sebagai syari’ah itu sendiri. Dalam konteks inilah Abdullahi Ahmed An-Na’im menyebutnya dengan term “syari’ah historis”.1

Dalam tulisannya, An-Na’im sekurang-kurangnya telah memberikan pengertian umum bagi hukum Islam (syari’ah) sebagai sekumpulan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam yang memuat norma-norma hukum dalam hubungannya antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesamanya. Menurutnya, syari’ah semacam ini sangat menjunjung tinggi hak azasi manusia, karena tidak membatasi keberlakuan hukum Islam hanya bagi orang Islam, tetapi juga melindungi hak orang lain di luar Islam.

Sebaliknya, dalam term “syari’ah historis”, An-Na’im telah menemukan beberapa persoalan krusial mencakup konflik antara hukum Islam dan hak azasi manusia. Ia kemudian mengemukakan gagasannya bagi upaya pembaharuan hukum Islam hendaknya disesuaikan dengan konteks kemodernan agar relevan dengan hak azasi manusia dan sistem hukum lainnya di berbagai negara dunia. Ini bisa kita telaah lebih jauh dalam sejumlah tulisannya tentang hukum Islam dan hak azasi manusia.

Menyinggung tentang hak azasi manusia yang universal, sekurang-kurangnya dapat difahami sebagai hak yang paling fundamental dan harus dimiliki oleh setiap manusia menyangkut hak untuk hidup dalam beragama, pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, politik, dan persamaan mendapatkan keadilan di depan hukum.2 Hak tersebut merupakan hak yang harus dimiliki oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan apa pun termasuk di dalamnya suku bangsa, agama, jenis kelamin dan status sosial dalam masyarakat.

Prinsip-prinsip hak azasi manusia tidak saja menjadi aspek terpenting dalam sistem hukum suatu negara yang harus dituangkan dalam konstitusi negara, tetapi juga menuntut pengakuan secara menyeluruh pada tingkat implementasinya, baik dalam bidang politik dan ketatanegaraan maupun hukum dan keadilan. Atas dasar itu, jaminan bagi perlindungan hak azasi manusia hendaknya mendapatkan prioritas utama demi tegaknya hukum dan keadilan di tengah-tengah masyarakat.

Perlindungan hak azasi manusia juga tidak hanya menjadi tradisi kolektif dalam masyarakat Barat yang notabene telah melahirkan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tahun 1948 sebagai konsensus internasional. Hal ini juga telah menjadi bagian dari tradisi modern masyarakat dan negara-negara muslim melalui konsensus Universal Islamic Declaration of Human Rights (UIDHR) tahun 1967 di Cairo Mesir. Hal ini merupakan realitas sosial dan politik di kalangan negara-negara muslim dalam mengangkat isu-isu hak azasi manusia sebagai bagian dari tradisi kepercayaan (agama) dan tradisi budayanya.

Konflik dan Rekonsiliasi Antara Hukum Islam dan HAM

Perdebatan menarik antara hukum Islam dan HAM sesungguhnya telah mengemuka di kalangan ahli hukum modern. Seperti telah disinggung sebelumnya An-Na’im banyak dikenal sebagai agamawan humanis yang telah menunjukan peta konflik antara syari’ah historis dan hak azasi manusia dalam bidang pemberlakuan hukum pidana Islam di negara Sudan. Kemudian Ann Elizabeth Mayer juga telah menemukan fakta-fakta krusial peta konflik antara hukum Islam dan HAM dalam proses Islamisasi di negara republik Islam Pakistan dan Iran.3 Hal yang paling serius menurutnya adalah menyangkut masalah gender, diskriminasi terhadap kalangan non-muslim dan minoritas agama lainnya.

Beberapa persoalan krusial berkaitan dengan konflik dan rekonsiliasi antara hukum Islam dan hak azasi manusia, sekurang-kurangnya dapat kita telaah dari tiga sudut. Pertama, HAM dan Hukum Islam bisa dilihat sebagai sistem hukum yang memiliki dasar pijakan yang berbeda; Kedua, Ada aspek-aspek tertentu di dalam HAM dan Hukum Islam yang saling berseberangan; dan Ketiga, Ada titik taut persentuhan dan pertemuan antara prinsip-prinsip dasar yang terdapat di dalam HAM dan Hukum Islam.

Sebagai hasil konsensus internasional, hak azasi manusia dapat dikategorikan sebagai bagian dari hukum internasional, karena dibentuk melalui proses politik dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). HAM tidak lahir dengan sendirinya, melainkan lahir dari proses evolusi sejarah serta kesadaran kolektif akan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai dasar kemanusiaan. Dalam aplikasinya, HAM dimasukan dalam wilayah hukum tatenegara, karena aspek HAM norma fundamental yang harus dianut oleh semua konstitusi negara modern.

Sedangkan hukum Islam lebih banyak diposisikan sebagai hukum Tuhan (divine of law), karena didalamnya memuat segala peraturan dan hukum termasuk hak azasi manusia yang ditundukan kepada kehendak hukum Tuhan. Sistem hukum ini bersumber kepada teks-teks suci (nash) dan jurisprudensi (ijtihad). Sifat hukum ini bersifat kekal, namun cenderung relatif dan terbuka dalam menerima perubahan sesuai dengan tuntutan sosial budaya dalam masyarakat. Besarnya pengaruh faham kodifikasi dalam model hukum konstitusi modern telah memperkuat dukungan bagi pembentukan konstitusi Islam seperti yang terjadi di Sudan, Pakistan dan Iran.

Faham kodifikasi (stufentheory) merupakan turunan dari ajaran hukum murni dalam kajian filsafat hukum yang bermuara pada ajaran positivisme. Menurut teori ini, eksistensi suatu hukum akan diakui keberlakuannya apabila hukum tersebut ditransformasikan secara tertulis dalam bentuk undang-undang.4 Demikian pula, dengan prinsip-prinsip dasar HAM dan Hukum Islam dapat berlaku secara positif apabila telah diakui dan dimuat ke dalam konstitusi. Berdasar kepada pandangan tersebut, antara HAM dan Hukum Islam memiliki pola hubungan yang sama yakni merupakan produk hukum yang mengikat.

Munculnya peta konflik antara hukum Islam dan HAM sebagaimana disebut oleh An-Na’im lebih banyak terdapat dalam bidang hukum perdata dan pidana Islam. Ia membuktikan dengan beberapa kasus seperti seorang laki-laki non-muslim tidak dibenarkan menikahi perempuan muslim, sebaliknya laki-laki muslim bisa menikahi perempuan non-muslim. Hal ini juga termasuk dalam perkara perbedaan hak waris antara laki-laki dan perempuan yang cenderung diskriminatif. Kemudian dalam bidang pidana Islam, pemberlakuan hukum qishash, hudud dan ta’zir bagi pelanggaran tindak pidana berat, dianggap tidak relevan lagi diterapkan dalam konteks kemodernan, karena hal itu akan membatasi hak hukum minoritas non-muslim dibawah naungan konstitusi negara berlandaskan syari’at Islam.

Apabila kita kembalikan kepada prinsip-prinsip dasar universal dalam hukum Islam dan hak azasi manusia, sesungguhnya tidak ada yang bertentangan di antara keduanya. Kendati pun keduanya memiliki dasar pijakan yang berbeda, tetapi terdapat titik taut persentuhan antara hukum Islam dan hak azasi manusia. Dalam konteks inilah muncul pertanyaan apakah hukum Islam saat ini sudah relevan dengan hak azasi manusia, dan apakah hukum Islam harus diubah sesuai dengan hak azasi manusia atau sebaliknya hak azasi manusia harus disesuaikan dengan hukum Islam.

An-Na’im menjawab kedua pertanyaan tersebut berdasar kepada prinsip resiprositas dalam HAM yakni adanya prinsip saling menghargai hak dan kebebasan individu sejajar dengan hak dan kebebasan individu lainnya. Ia menolak pemberlakuan syari’ah historis yang dibentuk melalui rekayasa sejarah dan harus dikembalikan kepada sumber asalnya yakni prinsip-prinsip dasar hukum Islam yang universal. Ia beralasan bahwa beberapa bagian penting dalam hukum Islam saat ini bertentangan dengan hak azasi manusia dan hukum internasional. Oleh karena itu, hukum Islam saat ini hanya bisa berlaku dan ditaati dalam wilayah komunitas umat Islam, sebab beberapa materi hukum Islam cenderung diskriminatif terutama dalam masalah gender dan agama serta hak sipil lainnya. Secara ekstrim ia menyuarakan bagi perlunya pembaharuan hukum Islam agar relevan dengan standar-standar hak azasi manusia dalam UDHR 1948.

Pandangan tersebut barangkali tidak seluruhnya tepat. Apabila kita bandingkan dengan pendapat lainnya seperti Louay M. Syafi, Rifaat Hassan dan Ibrahim Abdullah Al-Marzouqi yang mengkritik segi metodologi yang dikembangkan oleh An-Na’im. Pemikiran An-Na’im sangat dipengaruhi oleh gurunya Mahmoud Mohammad Taha yang terkenal radikal dalam menggagas ide pembaharuan hukum Islam.5 Selain itu, An-Na’im tidak menjelaskan hukum Islam dalam term umum “syari’ah”, tetapi lebih dibatasi oleh perspektif sejarah dengan sebutan “syari’ah historis”. Di samping itu, gagasannya tentang pembaharuan hukum Islam juga lebih banyak dipengaruhi oleh tafsir historis terhadap sistem hukum Sudan yang berada di bawah pemberlakuan hukum konstitusi Islam.

Demikian pula dengan kerangka metodologi hukum Islam yang ia gunakan lebih banyak memuat prinsip-prinsip dasar positivistik. Hal ini bisa kita lihat dalam pandangannya bahwa prinsip nasikh mansukh adalah sebuah keniscayaan bagi pembaharuan hukum Islam saat ini. Argumen yang ia gunakan berdasar kepada pendekatan analogi bahwa konteks pemberlakuan hukum Islam saat ini hendaknya dapat dikembalikan sebagaimana peralihan dari periode Medinah ke periode Makkah. Hal tersebut, menurutnya merupakan solusi bagi rekonsiliasi antara hukum Islam dan hak azasi manusia.

Secara umum, ia menjelaskan dua pendekatan yang bisa dilakukan bagi pembaharuan hukum Islam dalam hubungannya dengan hak azasi manusia. Pertama, hukum Islam harus direkontruksi kembali baik pada tingkatan metodologi maupun implementasinya sesuai dengan perkembangan dunia modern. Kedua, ia menghendaki adanya perubahan serupa dari sistem hukum lainnya termasuk hak azasi manusia untuk lebih akomodatif mempertimbangkan perbedaan latar belakang sosial-budaya, agama dan politik hukum yang ada di kalangan masyarakat muslim dan penganut agama lainnya. Inilah pilihan yang paling sulit dilakukan, sebab kenyataan entitas hukum Islam dan hak azasi manusia bagi orang Islam bukanlah sesuatu yang terpisah.

Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, saya ingin mempertegas kembali bahwa pola hubungan antara hukum Islam dan hak azasi manusia bukanlah sesuatu yang keluar dari keyakinan agama. Menolak hukum Islam sebagian tidak berarti meninggalkan hukum tersebut secara keseluruhan. Sudah barang tentu, sebagai hukum Tuhan, hukum Islam yang terkandung dalam makna integral syari’ah berisikan prinsip-prinsip moral, etika, hukum dan keadilan dapat diterapkan secara utuh dan berkesinambungan. Akan tetapi, kita tidak bisa menolak, eksistensi hukum Islam yang lahir dari produk sejarah ternyata telah melahirkan pertentangan dengan sistem hukum lainnnya serta penolakan dari kalangan non-muslim dan komunitas muslim itu sendiri.




1 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law (Syracuse: Syracuse University Press, 1996) hal. 3-4

2 Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam and Human Rights: Beyond The Universality Debate (Washington: The American Society of International Law, 2000) hal. 95. Bandingkan dengan David Littman, Universal Human Rights and Human Rights in Islam (New York: Journal Midstream, 1999) p. 1.

3 Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights: Traditions amd Politics (Colorado: West View Press, 1999) hal. 35.

4 Stufentheory diperkenalkan oleh Carl Schmith dan Adolph Merkel. Keduanya pengikut ajaran hukum murni Hans Kelsen. Teori ini banyak menjelaskan teori hukum tentang konstitusi. Lihat dalam Lili M. Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum (Bandung: Alumni, 1985) hal. 43-44.

5 Mahmoud Mohammad Taha, The Second Message of Islam, diterjemahkan oleh Abdullahi Ahmed An-Na’im (Syracuse: Syracuse University Press, 1987).

Tidak ada komentar: