Selasa, 17 Januari 2012

Agama dan Demokrasi di Republik Islam Iran

AGAMA DAN DEMOKRASI
(Telaah Penerapan Demokrasi di Republik Islam Iran)
Deni K. Yusup

Pendahuluan
Perdebatan tentang agama dan demokrasi dewasa ini terjadi baik di dunia Barat maupun di dunia Islam. Pertanyaannya adalah demokrasi semacam apa yang dikehendaki? Persamaan yang ditemui dalam Islam kemungkinan adalah yang terbesar dari manapun juga. Dalam Islam tidak ada sistim kasta, tidak ada pendeta dan tidak ada perbedaan antara sikaya dan si miskin. Hal ini dapat dilihat dengan baik pada saat sholat, di mana muslim berdiri saling membahu, semua manusia diposisikan sama dihadapan Tuhan dengan tidak membedakan kaya miskin maupun status sosialnya.
Hal paling krusial dalam konteks hubungan antara agama dan demokrasi adalah para pemikir Barat sering menuding Islam tidak demokratis dan tidak menjamin kebebasan beragama bagi pemeluk agama lainnya. Bahkan sebuah negara yang menempatkan syari’at Islam dalam konstitusi dan ketatanegaraannya dianggap paling berpeluang melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan univer- salitas hak-hak azasi manusia.
Berkenaan dengan hal tersebut, tulisan ini akan menjelaskan interrelasi agama dan demokrasi yang difokuskan pada kebebasan agama dalam pemerin-tahan demokrasi. Hal ini penting untuk dibahas mengingat terjadi pertautan yang cukup menarik dalam diskusi agama dan demokrasi. Terlebih lagi kini muncul anggapan bahwa persoalan agama adalah sesuatu yang terpisah dari urusan politik.

Interrelasi Antara Agama dan Demokrasi
Mengutip penjelasan yang disampaikan oleh Donny Gahral Adian, bahwa polemik menarik seputar perlunya pendidikan agama di sekolah terjadi tahun 1785 antara Patrick Henry dan James Madison, keduanya dari Virginia, Amerika Serikat. Madison menolak andil agama dalam pendidikan warga negara. Pendi-dikan warga negara, menurut dia, bertujuan mendidik anak menjadi insan otonom dan itu niscaya bertolak belakang dengan pendidikan agama yang doktrinal. Henry, sebaliknya. Ia berargumen, pendidikan agama diperlukan guna meluruskan moral anak didik dan menyiapkannya menjadi warga negara yang berkeutamaan.
Madison mewakili kelompok liberal yang menolak infiltrasi agama dalam kancah day-to-day politics. Sedangkan Henry adalah suara kelompok agama yang menghendaki aktivisme praksis agama dalam realitas profan. Namun, sorotan utama penulis bukan pada siapa yang benar dan siapa yang salah. Fokus harus dipalingkan bagaimana upaya keduanya dalam mencari justifikasi publik.
Menyoal hubungan agama dan demokrasi, penting kiranya mengangkat kembali polemik Henry-Madison menjadi penting saat robohnya Orde Baru, menajamkan lagi beberapa agenda politik kelompok agama yang sempat sayup. Salah satu agenda yang paling santer adalah rekomendasi kodifikasi Syariat Islam dalam hukum positif. Sebuah agenda kontroversial yang banyak mendapat reaksi keras kelompok liberal baik sekuler maupun kalangan agama sendiri.
Memposisikan agama dalam framework demokrasi-liberal, merupakan persoalan tersendiri. Masyarakat yang diatur oleh satu doktrin agama bukan lagi masyarakat warga (civil society) tetapi masyarakat beradab (civilized society). Masyarakat beradab melindungi kelompok agama minoritas tetapi tidak menjamin setara hak dan kewajiban masing-masing individu sebagai warga negara. Sedangkan, konsep masyarakat warga justru menuntut kesetaraan hak dan kewa-jiban masing-masing warga negara.
Benturan antara kelompok liberal dengan agama berkisar pada poros ideologis itu. Terpatrinya prinsip politik seperti kesetaraan, kebebasan, dan solidaritas, menurut kelompok liberal mengandaikan absennya kiprah politis agama. Kelompok sekuler-liberal selalu mencurigai persemaian benih-benih totalitarianisme pada setiap agenda politik kelompok agama. Di sisi lain, kelompok agama juga menaruh kecurigaan yang sama kuat. Agenda kelompok liberal seperti penjaminan kebebasan mengikuti suara hati, dicurigai sebagai konspirasi pelemahan komunalisme agama. Individualisme adalah duri dalam daging bagi agama yang menekankan integrasi dan hierarki.
Pertanyaannya, apakah benar demokrasi-liberal mengandaikan redupnya kiprah politis agama? Penulis menganggap klaim itu masih bisa dipersoalkan. Jerat politis yang dipasang kelompok liberal sebenarnya memangsa ideal-ideal politik yang mereka junjung sendiri. Tuduhan totalitarianisme, akhirnya, bisa ditimpakan pada mereka. Harus dicatat, demokrasi tidak hanya menjamin hak-hak individu tetapi juga hak kolektif. Setiap kelompok dijamin haknya untuk mengatur diri sendiri dan juga berpartisipasi secara politis.
Demokrasi disangga oleh apa yang disebut deliberasi publik. Deliberasi publik memuat tiga komponen pokok yang saling bertautan. Pertama, nalar publik. Nalar publik adalah format penalaran yang harus diajukan setiap warga negara setiap kali mereka mengusulkan, mendukung atau menolak hukum atau kebijakan yang melibatkan koersivitas pemerintah. Kedua, rangka institusional. Kebebasan setiap warga negara untuk turut serta dalam diskursus publik, harus dijamin dalam satu rangka institusional yang adil. Ketiga, budaya politik. Budaya politik adalah keterbiasaan setiap warga negara untuk mengadopsi nalar publik dalam mengajukan agenda-agenda politisnya.
Demi keberlangsungan demokrasi, setiap agenda kelompok-kelompok kepentingan harus disokong oleh nalar publik. Demokrasi tanpa nalar publik hanya akan menjadi bulan-bulanan manipulasi berbagai kelompok kepentingan. Kelompok sektarian macam Nazi, misalnya, pernah memanipulasi demokrasi. Hitler, atas nama kebebasan berpendapat, berpidato mengobok-obok sentimen anti-semit guna mendongkrak dukungan politisnya. Sebuah proses politik yang berujung pada totalitarianisme yang nyaris patologis.
Benih-benih totalitarianisme tidak akan berkembang bila proses deliberasi publik sungguh dijalankan. Setiap kelompok akan berusaha merebut hati publik secara rasional. Sebuah perwajahan proses politik yang rasional. Proses yang akan menempatkan nilai-nilai politik inklusif seperti keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas di atas segala kepentingan eksklusif. Apa yang menarik dari polemik Henry-Madison adalah upaya Henry berpolitik secara rasional. Henry tidak memanipulasi demokrasi. Argumentasinya tidak didasarkan pada nilai-nilai transendental Kristiani guna menjaring masa. Ia juga tidak berpidato berapi-api menyerang Madison sebagai musuh agama. Yang dilakukannya adalah mencoba meraih justifikasi publik secara rasional dengan menyandarkan argumentasinya pada nilai-nilai politik (keutamaan warga negara).
Kiprah politik agama tidak mesti asimetri dengan demokrasi. Ia menjadi asimetri ketika mengabaikan diskursus publik dan memasang harga mati. Setiap agenda yang berakar dari doktrin agama harus disokong oleh justifikasi publik. Artinya, bukan sekadar sah secara sepihak, tetapi diterima secara publik. Henry tidak berpikir bagaimana memenangkan agendanya secara sepihak. Ia dengan berani memasuki kancah diskursus publik. Berpolemik habis-habisan guna meyakinkan publik secara rasional. Harga sebuah keyakinan, dibayar bukan dengan simbol-simbol agama tetapi nalar publik.

Islam dan Demokrasi
Islam telah menempatkan perihal demokrasi secara sungguh-sungguh
dengan jalan diterapkannya. Pemikir seperti Rachid Ghannouchi dan Abd-
el-Fattah Mourou mencaci agar barat tidak usah mengagungkan demokrasi mereka, sementara barat mengkritik negara muslim tidak berlaku demokrasi, disisi lain membantu negara lain yang tidak demokrasi yang menjaga gerakan Muslim untuk memunculkan pemikiran mereka.
Mengutip dari Mourou, mengapa barat berbicara soal demokrasi dan hak azasi manusia sementara itu mereka membantu rejim yang menganiaya dan memenjara aktivis Islam? Ada hal yang bertolak belakang antara apa yang barat inginkan dan apa yang dipraktekkan di barat, dan apa yang mereka inginkan dan mereka bantu di negara lain. Pandangan dan penerapan demokrasi bervariasi dari suatu negara dengan negara lainnya, menurut sistim sosial mereka, tradisi dan kebutuhan setempat.
Hal yang sama, demokrasi di negara-negara Islam mengambil bentuk
tetapi mungkin tidak sebagaimana pengamat politik barat ingin melihat. Aspek
yang paling penting dari demokrasi dalam Islam adalah kehendak rakyat
diperhitungkan secara positif dan berhasil dengan baik tidak hanya memenuhi
ukuran keagamaan.
Apakah Ide demokrasi, oleh sebab itu, pernah terpenuhi di barat?
Hal tersebut terbatas dan dibatasi dengan ketidakleluasaan yang sama dan
penekanan yang telah membatas keleluasaan berdemokrasi di negara-negara Islam
yang mana mata barat akan mungkin tidak akan pernah dapat menghargai prinsip-
prinsip demokrasi. Dimana kepemimpinan Islam yang seharusnya terpilih
dicap sebagai "Kudeta fundamentalis" dan karena itu merupakan tanda bahaya,
contohnya di Algeria. Demokrasi Inggris dilain pihak berarti partai Tory
dapat menikmati dan tetap berkuasa untuk 14 tahun dengan hanya 40% dari
suara.
Sebagian besar negara-negara Muslim di dunia, akibat periode penjajahan yang panjang baik langsung maupun tidak langsung dan kekurangan pendidikan moral dan pengembangan politik, tidak memiliki panjang waktu yang sama sebagaimana barat mengembangkan budaya demokrasi mereka. Walaupun demi-kian mereka jelas bergerak ke arah demokrasi, tetapi langkahnya telah diukur untuk membentuk kembali bukan melabilkan struktur lingkungan.
Betapapun, sementara India memiliki sejarah yang lebih panjang untuk demokrasi pemilihan, tetapi telah menghalangi pemberian kepada rakyat Kashmir akan janji hak inisiatif menentukan politik masa depan mereka dengan alasan jika Kashmir dibolehkan kebebasan bersuara, hal ini akan melabilkan politik di India. Golongan lain, seperti sik, juga menguji demokrasi di India.
Mengutip Prof. Akbar Ahmed, "Tirani dan ketidak-adilan tidak dapat dijatuhkan oleh seorang ditanah dimana perubahan demokrasi tersebut mempengaruhi orang lain dimana-mana". Kekuatan demokrasi sangat terbatas
akibat terlalu berkuasanya pasar uang internasional. Pemerintah tergantung
dari bertahannya mereka dari pengaruh permainan mata uang Internasional.
Pada saat demokrasi tidak berarti sama sekali dalam kata-kata. Ambil contoh
terakhir dari Rusia dan Serbia. Proses demokrasi telah gagal diwujudkan dari
harapan rakyat mereka.
Negara-negara Islam, dilihat dari barat, menjalankan tirani agaknya
dari pada demokrasi. Kita mestinya ingat bahwa demokrasi barat juga
menghasilkan pemimpin seperti Hitler, Mussolini dan sekarang ditiru oleh
pemimpin Serbia. Revolusi terkenal demokrasi Islam rakyat Algeria tidak
disambut oleh barat. Malahan, hal itu membangkitkan propaganda anti Islam
secara besar-besaran di media barat. Apakah kita benar-benar percaya pada
keinginan rakyat atau hanya sewaktu sejalan dengan kita.
Pernyataan Islam adalah pernyataan yang dilandasi dari hukum Tuhan
yang diturunkan dari kitab suci Al-Qur'an dan Sunnah. Sarjana Muslim yang
dikenal dengan baik, Al-Maududi menyatakan "Pemerintah Islam yang berketuhanan karena Muslim telah diberi kedaulatan demokrasi umum yang terbatas di bawah kedaulatan Tuhan". Cara kerja pemerintah dalam pemerintahan Islam sangat jelas berdasarkan pada musyawarah. Kepala negara akan berfungsi tidakotokrasi tetapi dengan cara musyawarah dikenal dengan nama syuro. Ia tidak
sewenang-wenang maupun kekuasaan darurat untuk menyingkirkan konstitusi
atau menjalankan pemerintahan tanpa syura. Ia tidak kebal hukum dan terbuka
walaupun dalam kehidupan pribadinya kepada rakyat. Wanita adalah sejajar
dalam beberapa hal merupakan warga istimewa dari negara Islam.
Prinsip Islam melangkah lebih maju dari prinsip demokrasi barat, dimana kita paham akan hal itu tetapi begitu jelas diselewengkan meskipun pada bagian yang paling berbudaya di dunia. Prinsip Islam melangkah lebih jauh dari konsep demokrasi barat dengan menyajikan keadaan paling ideal yang hanya dapat dijumpai pada keadilan sosial yang mutlak. Tidak ada yang sepadan dalam pendekatan ini. Al-Qur'an memerintah "Berlaku keraslah dalam mengamati keadilan dan jangan berlaku keras didalam menyelenggarakan shariah atau undang-undang". Dalam hal ini, saya percaya Islam banyak mencerminkan. Saya yakin demokrasi merupakan bentuk terbaik dari pemerintahan walaupun mungkin barat percaya didalam tubuh demokrasi dan jiwanya adalah Islam. Sekali percaya pada mulanya maka yang lainnya akan dipertimbangkan.

Demokrasi di Negara Muslim: Kasus Iran
Selepas revolusi Islam Iran mencapai kemenangannya pada tahun 1979, sistem RII telah dibentuk dan didirikan dengan suara mayoritas rakyat Iran. Berlangsungnya berbagai pemilu dan keikutsertaan rakyat secara bebas dalam menentukan nasib masa depan sistem Islam ini menarik minat ramai para pemikir dunia. Karena mereka melihat dalam sebuah pemerintahan yang menolak kriteria liberalisme barat dan menjadi Islam sebagai contoh memberi hak rakyat secara menyeluruh. Dengan cara ini, pembentukan pemerintah RII menyebabkan sekali lagi sistem dari pandangan Islam yakni demokrasi agama menjadi perhatian. Kini dengan terbitnya fikiran dan ide Imam Khomeini pendiri RII dan Ayatollah Khamenei rahbar revolusi Islam, sisi dan keutamaan sistem ini menjadi semakin jelas.
Sistem demokrasi agama, untuk pertama kali nya dimanifestasikan pada era Rasulullah saaw dan kemudian sekali lagi pada era pemerintahan Imam Ali as. Fondasi sistem Islam didirikan berlandaskan kepada kepercayaan kepada Tuhan dan Pencipta Alam atau dengan kata lain berorientasikan Tuhan yang bersesuaian dengan fitrah manusia. Berlandaskan kepada kepercayaan ini, marja yang paling menyakinkan dan penetap UU yang Maha mengetahui bagi menyusun program kebahagiaan ialah pencipta Alam yang mengetahui semua urusan. Undang-undang dan ajaran Tuhan adalah jelas untuk semua manusia dan merupakan undang-undang yang terbaik bagi kebajikan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Oleh itu, undang-undang manusia yang lain bisa disusun bersesuaian dengan ajaran Tuhan.
Dalam sistem demokrasi agama, legalitas sistem berlandaskan kepada kepercayaan kepada Tuhan dan mengamalkan hukum agama. Dengan ini, berorientasikan Tuhan dalam pemerintahan Islam tidak menghalang perhatiannya kepada kemaslahatan rakyat. Islam adalah agama insani dan membina kemanu-siaan bagi kedamaian dan kebahagiaan dan sistem Islam berhasrat untuk merealisasikan tujuan ini dengan melaksanakan ajaran dan nilai-nilai Islami.
Oleh itu dalam sistem pemerintahan ini, ditekankan kepada kemaslahatan dan kepentingan sebenar rakyat sehingga mereka dapat dibimbing ke arah kesempurnaan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Manakala dalam demokrasi barat, manusia yang menyusun dan mengatur undang-undang dan peraturan. Sebagai manusia mereka cenderung untuk melakukan kesalahan dan penyimpangan dikarenakan dorongan hawa nafsu mereka. Dan mungkin saja mereka melakukan undang-undang yang bertentangan dan tidak sesuai dengan kemaslahatan mereka. Seperti mana yang kita saksikan hari ini banyak sekali undang-undang seperti itu yang telah diterapkan dalam berbagai masyarakat dan tidak berapa lama kemudian, dengan melihatkan kepada kesan atau dampaknya yang merugikan, undang-undang itu dibatalkan.
Dalam pemerintahan demokrasi agama, rakyat memainkan perang penting. Mereka merupakan memilih ketua dan lewat wakil pilihan ini mereka menetapkan undang-undang yang bersesuaian dengan agama dan rakyat memainkan peran aktif dalam menentukan masa depan negara. Menurut UUD RII, rakyat memilih presiden republik, wakil anggota parlimen dan wakil dewan kota dan malah rahbar turut dilantik lewat suara tidak langsung rakyat. Dalam hal ini, semua orang berpartisipasi dalam kerangka undang-undang dan ajaran tinggi Islam.
Dalam demokrasi agama, penggunaan metode seperti pemilihan umum dan jajak pendapat, bersandarkan kepada suara mayoritas merupakan jalan yang paling praktis dan terbaik yang diterima. Tetapi ada kalanya suara mayoritas rakyat atau wakil mereka memberi suara yang mendatangkan kerugian dan malah keburukan, seperti mana yang terdapat dibarat ketika mereka mengesahkan undang-undang amoral homosexual di sebagian negara barat karena mendapat suara mayoritas anggota parlimen. Persepakatan kelompok seperti ini tidak sesuai dengan akal sehat dan logika agama. Oleh itu Islam, hanya menerima suara mayoritas yang bersesuaian atau tidak bertentangan dengan undang-undang konstruktif dan ajaran berhikmah Islam.
Masyarakat liberal barat turut mengikatkan diri mereka dengan syarat demokrasi dan kebetulan mayoritas rakyat tidak menerima sebagian urusan seperti pembatalan kepemilikan khusus, pasaran bebas dan hak hak individu. Tetapi memandangkan liberalisme tegak atas dasar materialisme dan hedonisme, maka ia tidak punya undang-undang bagi kebahagiaan akhirat dan urusan spiritual insan dan mereka melepaskannya. Sedangkan manusia itu terdiri dari dua unsur materi dan maknawi dan keduanya memerlukan perhatian. Tetapi Islam, mengambil hirau akan kedua sisi materi dan maknawi insan. Oleh itu sistem demokrasi agama yang mengambil sumber pohon Islam memandangkan perlunya penyediaan kebahagiaan dalam kedua bidang itu.
Dalam sistem demokrasi agama, rahbar memiliki peran penting dan khusus. Dia tidak saja mengurusi urusan negara dan fasilitas pemerintahan tetapi juga turut memikul peran membimbing dan memimpin rakyat. Karena rahbar dalam demokrasi agama yang seharusnya menguasai urusan politik dan ekonomi merupakan orang yang paling bertaqwa dan berpengetahuan tinggi dalam agama Islam serta mempunyai pandangan dalam pelaksanaan undang-undang Islam.
Selain itu keistimewaan sistem demokrasi agama ialah tujuan tidak duniawinya yang bangkit dari ajaran Islam. Perkara ini banyak sekali ditekankan dalam al quran dan hadis bahwa dunia adalah ladang akhirat. Oleh itu sistem demokrasi agama tidak saja memikirkan tentang sisi materi rakyat tetapi sebaliknya turut menyediakan lahan bagi mengisi keperluan spiritual mereka. Keutamaan sistem ini adalah kebaikan dan kebahagiaan rakyat di dunia dan akhirat.
Keutamaan lain sistem demokrasi agama ialah perhatiannya kepada individu dan masyarakat. Dalam sistem liberalisme prinsip individualisme dikedepankan dan sistem ini bergerak ke arah bagi penyediaan kepentingannya. Hedonisme, mengaut keuntungan dan ambisius kuasa semuanya adalah hasil individualisme liberalisme barat. Sebaliknya, sosialisme adalah prinsip kemasya-rakatan dan kepentingan individu disediakan bagi kepentingan masyarakat. Penumpasan despotik dan kebebasan individu dan halangan dari kemajuan seseorang adalah hasil dari pandangan ini. Tetapi dalam sistem pemerintahan Islam, dari satu sudut menekankan peran mulia dan bertang-gungjawab individu dalam membina dirinya dan masyarakat. Di pihak lain dampak yang tidak dapat ditolak lingkungan sosial dalam pembentukan pemikiran, akhlak dan kepribadian seseorang turut diperhatikan. Oleh yang demikian, sistem demokrasi agama adalah sebuah sistem yang adil dan netral jauh dari ektrim liberalisme dan sosialisme mengenai individu dan masyarakat yang membawa keburukan kepada manusia.
Dengan meninjau kepada keutamaan sistem demokrasi agama, dapatlah kita membuat kesimpulan bahwa ia menyediakan kepentingan rakyat dan masyarakat dari berbagai dimensi. Kepaduan ini adalah dikarenakan sistem demokrasi agama tegak atas dasar nilai-nilai yang komprehensif dan sempurna Islam. Sebuah sistem yang menyediakan dunia dan akhirat manusia secara adil dan seimbang jauh dari kefasadan, penyimpangan dan kehancuran

Kesimpulan
Islam seringkali dituduh tidak demokratis oleh pihak Barat. Dalam konteks hubungan antara agama dan demokrasi di kalangan negara muslim terdapat beberapa pandangan. Pertama, ada persoalan bahasa yang sering menjadi keberatan bahwa demokrasi bukan berasal dari bahasa Arab. Disini, banyak ajaran-ajaran Islam yang pada dasarnya demokratis tanpa harus menggunakan istilah "demokratis" itu sendiri. Kedua, demokratis tidak selamanya diartiku-lasikan seperti yang berlaku di Barat yang sifatnya sekuler. Maka tidak selama-nya tidak jika diterapkan secara persis dalam dunia Islam. Ketiga, terdapat tuduhan bahwa gerakan Islam bersifat revolusioner dan menolak demokrasi.
Di kalangan negara muslim, revolusi merupakan hal yang wajar mengingat bahwa banyak dunia Islam berada di dalam penindasan dan imperialisme Barat. Meski demikian tidaklah semua gerakan Islam itu revolusioner. Ini telah terbukti di Republik Islam Iran dan Sudan yang menerapkan demokrasi. Jika Republik Islam Iran lahir dari revolusi melawan rezim Shah, Republik Islam Sudan tampil dari perjuangan politik para pemimpin Islam Sudan di parlemen. Revelusi diartikan sebagai alat untuk mengimplementasikan demokrasi itu sendiri.


Daftar Pustaka

Abdullahi Ahmed An-Na’im, Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law (Syracuse: Syracuse University Press, 1990).
Abdullah, Demokrasi Islam, dalam Majalah Impact Volume 23, Nomor 3 Maret 1994.
Abul ‘Ala Al-Maududi, Human Rights in Islam (WPONLINE.ORG: 2002) dipublikasikan pada September 16, 2002.
Anonimous, Meninjau Demokrasi Agama dalam http://www.irib.ir/worldservice/ melayuRADIO/POLITIK/desember03/demokrasi_agama.htm.
Donny Gahrial Adian, Agama, Demokrasi dan Politik Rasinal, Kompas, Jumat, 31 Mei 2002.
Mahmoud Mohammad Taha, The Second Message of Islam, diterjemahkan oleh Abdullahi Ahmed An-Na’im (Syracuse: Syracuse University Press, 1987).
Sunarwoto Dema, Islampun Bisa Demokratis dalam Republika, Edisi 06 Juni 2003.

Tidak ada komentar: